Dalam kitab al-Haawi al-Kabir ( الحاوى الكبير ) dalam fiqih madzhab Imam Asy-Syafi’Iditerangkan bahwa
orang yang hilang dalam waktu yang lama dan tidak diketahui apakah masih
hidup atau sudah mati maka orang itu harus dihukumi hidup sampai diketahui
dengan pasti apakah mafqud tersebut sudah mati atau masih hidup, maka
tidak boleh menghukumi kecuali dengan yakin. Dan apabila belum diketahui
dengan yakin tentang kematiannya, maka wajib menunda dulu kepemilikan
hartanya sampai batas waktu yang telah ditentukan. Apabila masa tidak
boleh memberikan penghidupan pada mafqud sudah berlalu maka hartanya
dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup. Dan apabila ahli waris
yang dihukumi mati itu juga meninggal dunia maka harta warisan mafqud itu wajib
ditunda sampai ada kejelasan perkaranya, yaitu kalau dia itu masih hidup ketika
si mafqud mati, maka dia termasuk sebagai ahli waris. Jika dia sudah mati
sebelum si mafqud mati maka dia tidak termasuk sebagai ahli waris sehingga
bagiannya diberikan kepada ahli waris yang lain.
Dalam kitab Mughni Muhtaj disebutkan:
Orang yang ditahan atau orang yang putus kabar beritanya dan meninggalkan
harta maka hartanya ditunda (tidak dibagi) sampai ada kejelasan tentang
kematiannya atau dalam waktu yang lama sehingga diperkirakan sudah mati
dan hakim telah memutuskan bahwa si mafqud sudah mati kemudian hartanya
diberikan kepada ahli warisnya pada waktu terjadi hukum tersebut.
Syarah dari matan di atas dijelaskan bahwa
apabila seorang itu mafqud dengan putus kabar beritanya, maka hartanya
harus di tunda (tidak dibagi) terlebih dahulu, sehingga ada tanda-tanda
yang terang tentang meninggalnya dengan menghitung umurnya yang sudah
berlalu mulai dari kelahirannya yang diperkirakan tidak akan hidup lagi di
atas umur itu. Apabila begitu maka hartanya dapat diberikan kepada orang yang
mempunyai haknya (ahli waris), apabila orang yang hilang itu meninggal sebelum
ada tanda-tanda atau ketetapan hukum dari hakim, sekalipun tidak lama dari
ketetapan itu, maka tidak boleh dibagikan warisan itu dari si mafqud itu,
karena dia meninggal masih dalam zaman yang diperkira-kirakan tadi.
Tersebut pula dalam kitab ini;
Apabila ahli waris orang yang menghilang itu meninggal, maka
harta bagiannya ditinggalkan dulu dan memberikan dulu bagian dari ahli
waris yang ada dengan sama (sesuai dengan ketentuannnya) dan apabila meninggalkan
ahli waris dalam keadaan hamil, maka warisannya harus dibagi dengan
hati-hati antara haknya orang yang hamil dengan hak anaknya.
Muhammad Ali Ash-Shabuni menerangkan dalam
kitab Al-Mawarits bahwa pendapat ulama Syafi’iyah berpendapat “seseorang
yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman
sebayanya yang ada ditempat itu sudah mati, sedangkan apabila
diukur denganjangka waktu harus terlewati waktu 90 tahun, tetapi
menurut qaul shahih bahwa waktu itu tidak bisa
dikira-kirakan akan tetapi penetapan kematiannya itu hanya dapat dilakukan
oleh keputusan hakim.
Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm menjalankan
bahwa tidak ada warisan sebelum orang yang mewarisi (pewaris) itu telah
meninggal dunia, maka apabila pewaris tersebut sudah meninggal dunia, maka
ahli waris itu ada. Sesungguhnya orang yang hidup itu berbeda dengan orang
mati, maka mengenai orang yang hilang (mafqud) hartanya
tidak boleh dibagikan terlebihdahulu, sehingga diketahui dengan yakin akan
meninggalnya mafqud tersebut. Dalam menentukan tenggang
waktu yang dijadikan ukuran seseorang yang hilang tersebut masih dalam
keadaan hidup atau mati, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa;
Imam Syafi’i berkata; Imam Malik menggambarkan kepada saya dari Yahya
bin Sa’id bin Musayyab bahwasanya Umar bin Khattab berkata; setiap
perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang tiada mengetahui di
mana suaminya, maka ia diminta menaati 4 (empat) tahun. Kemudian setelah
itu beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal (HR. Bukhari
dan Syafi’i)
Dari pendapat Imam Syafi’i tersebut dapat
dijelaskan bahwa tenggang waktu yang diperbolehkan bagi hakim untuk
memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun, maka hartanya
boleh diwariskan kepada ahli warisnya.
Dari pendapat Imam Syafi’i tersebut dapat
dijelaskan bahwa orang yang hilang dalam waktu yang lama dan tidak
diketahui kabar beritanya, domisilinya dan tidak diketahui tentang hidup
atau matinya, maka hartanya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya
sebelum ada keputusan dari hakim tentang vonis kematian si mafqud
tersebut, jika si mafqud tersebut sebagai ahli waris maka hartanya ditunda
dahulu sampai jelas keadaannya, sedangkan bagian ahli waris yang lain
(jika ada) bisa diberikan segera.
Kesimpulan:
1. Apabila kedudukannya sebagai muwaris.
a. Harta orang yang hilang sebaiknya ditahan sampai ada kepastian keberadaannya, atau ada kepastian hidup atau matinya.
b. Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul hakam ditunggu sampai batas usia kurang lebih 70 tahun.
2. Apabila kedudukannya sebagai ahli waris
a. Harta warisan
dibagikan, dan ia (orang yang hilang) diberikan bagian sebagaimana bagian semestinya.
b. Jika ia masih hidup dan datang, maka bagiannya itu
diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.
Referensi:
-Abi Hasan Ali, Al- Khawi al-Kabir, (Beirut:
Darul Kutub Alamiah, tt.), juz. 7.
-Imam Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Darul Kutub
Alamiah, tt.), juz. 3
-Muhammad Ali Ash-Shobuni, Al-Mawaris, (Beirut:
Darul Kutub Alamiah, tt.)
-Syamsuddin Muhammad, Mughni Muhtaj, (Beirut:
Darul Kutub Alamiah, tt.), juz. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar